Lensahukumnews.com,- Permasalahan kejahatan tindak pidana narkotika telah menjadi permasalahan bangsa dan bangsa-bangsa di dunia yang selalu dibicarakan. Di seluruh dunia permasalahan penyalahgunaan narkotika hampir semua menjadi permasalahan bangsa-bangsa. Penyalahgunaan narkotika tentunya dapat mengakibatkan kerusakan secara fisik, kesehatan mental, emosi dan sikap dalam masyarakat. Permasalahan penyalahgunaan narkotika telah mengancam masyarakat dan bangsa sehingga menjadi suatu kejahatan yang terorganisir dalam ringkup nasional maupun bagi dunia inernasional. Terkait Jurnal ilmiah ini, penulis menjelaskan permasalahan bagaimana penerapan hukum pidana mengenai pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia dan bagaimana sistem hukum pidana mengenai pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia. Metode penelitian dalam jurnal ilmiah ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Data yang digunakan dalam jurnal ilmiah ini adalah data sekunder. Kata kunci: Tindak pidana narkotika, penerapan peraturan, penyalahgunaan narkotika.
Menganalisis esensi keberadaan UU Narkotika dan ratio legis Pasal 103 UU Narkotika. Secara faktual, terdapat beda tafsir dan beda pendapat antara penegak hukum tentang penerapan UU Narkotika. Hal ini terbukti pada putusan pengadilan, yang menjatuhkan putusan pidana penjara dan rehablitasi, walaupun pidana penjara lebih besar jumlahnya. Beda tafsir antara penegak hukum mengakibatkan belum tercapainya tujuan diberlakukannya UU Narkotika berkaitan dengan penyalahguna narkotika. (Statute Approach). Ketentuan hukum yang dianalisis adalah UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2019. Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Perkursor Narkotika,Kesimpulan dari artikel ini menunjukkan bahwa Pasal 103 UU Narkotika mengandung unsur ratio legis yang tepat untuk dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum untuk memberikan atau menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika Fakta lain menunjukkan bahwa penjatuhan pidana penjara terhadap penyalahguna narkotikaternyata kurang efisien karena tidak mampu menimalisasi jumlah penyalahguna narkotika. Penjatuhan pidana penjara terhadap penyalahguna narkotika dinilai tidak tepat.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang selanjutnya disebut UU Narkotika merupakan salah satu langkah pemerintah guna melawan jumlah penyalahgunaan narkotika yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Tujuannya yaitu mendukung kepentingan ilmu kesehatan dan pengetahuan dengan menjamin ketersediaan narkotika, mencegah penggunaan narkotika yang tidak sesuai aturan (penyalahgunaan narkotika), dan memberantas peredaran gelap narkotika. Sekitar 35 juta orang Indonesia telah mengonsumsi narkoba, narkoba yang dikonsumsi merupakan narkoba jenis baru berbentuk sintetis ataupun illegal,Penegakan hukum terhadap kasus pidana narkotika telah dilakukan secara maksimal oleh aparat penegak hukum dan telah banyak yang mendapat kekuatan hukum tetap (putusan) di pengadilan. Adanya penegakan hukum ini diharapkan dapat menjadi pencegah maraknya kasus narkoba, tetapi hal yang terjadi malah sebaliknya kasus narkoba menjadi semakin meningkat menjangkit jutaan orang Indonesia.
Penanganan kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia kebanyakan diberikan sanksi badan ataupun denda, namun di sisi lain rehabilitasi menjadi pilihan hakim dalam memutus kasus penyalah guna narkotika. Contohnya pada kasus penyalahguna narkoba yang dilakukan artis Ridho Rhoma, Iwa K dan Ello yang mendapat hukuman untuk direhabilitasi. Hal ini tentu menjadi aneh ketika kasus yang sama memiliki putusan yang berbeda-beda, padahal dasar dalam memutuskan kasus narkoba atau narkotika hakim telah berpedoman pada Undang-undang ‘khusus’ yaitu UU Narkotika. Namun di sisi lain seperti yang disampaikan oleh Irhammudin, secara fakta hakim memiliki kewenagan ekstra, kewenangan ekstra yang dimaksud yakni, hakim dapat menjatuhkan hukuman sesuai Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan menyatakan tidak bersalah dan membebaskan,Kewenangan ekstra di sini bersifat fakultatif sehingga hal ini menjadi dasar hakim memberikan saknsi badan ataupun denda terhadap penyalah guna narkotika. Tentunya juga dengan pemberian sanksi badan terhadap penyalah guna narkotika menyebabkann keuangan negara tidak stabil karena penjara digunakan terhadap yang bukan peruntuknya, penelitian Anton Sudanto (2017) yang mengangkat bagaimana penerapan hukum pidana dan pengaturannya mengenai tindak pidana narkoba di Indonesia.
Dalam penelitiannya tersebut dijelaskan bahwak konsep dari hukum pidana untuk narkotika itu sendiri mencakup tindakan krimininal, hukum pidana dan non-pidana (penal). Tindakan kriminal merupakan ilmu penanggulangan kejahatan yang dapat dilakukan dengan memadukan penerapan sarana pidana dan pencegahan tanpa menggunakan sarana pidana. Tindakan Hukum pidana adalah upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana pidana. Sedangkan terkait tindakan non pidana adalah tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, pembahasan dalam artikel ini lebih khusus membahas mengenai Ratio Legis pada Pasal 103 UU Narkotika sehingga Pasal 103 dapat dikatakan sesuai dengan tujuan keberadaan UU Narkotika. Selain itu problematika hukum yang terjadi dalam artikel ini yaitu adanya beda tafsir dan beda pendapat antara penegak hukum atas penerapan berlakunya UU Narkotika. Sehingga tepat tidaknya penjatuhan pidana terhadap penyalah guna narkotika perlu dianalisis.
Persamaan isu hukum yang dijadikan latar belakang yakni pemberian sanksi yang berberda terhadap penyalahgunaan narkotika yang dianggap sebagai korban diri sendiri. Penulis mencoba membahas putusan hakim terhadap penyalahgunaan narkotika dengan berlakunya UU Narkotika berpacu pada Pasal 103 UU Narkotika, hal ini menjawab relevansi perliindungan hukum melalui rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika, bahwa rehabilitasi tidak lepas dari ide yang mendasari perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika sesuai dengan Pasal 54, 55, Pasal 56, Pasal 103 dan Pasal 127 UU 35 Tahun 2009 dan membahas mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 103 UU Narkotika sehingga pasal ini benar-benar dapat dijadikan acuan untuk memberikan hukuman rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkotika.
Seharusnya bagaimana pemerintah Indonesia dalam memerangi atau memberantas kejahatan narkotika. tujuan penulis agar dapat menjawab isu hukum yang ditulis dan menjawab permasalahan yang belum diangakat pada penelitian sebelumnya seperti menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 103 UU Narkotika sehingga Pasal 103 UU Narkotika benar-benar dapat dijadikan acuan oleh aparat hukum dalam menjatuhkan hukuman terhadap penyalahguna narkotika.
Sehingga aparat hukum bisa secara seragam untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika yang terbukti ataupun tidak terbukti bersalah menggunakan narkoba, dan hukuman pidana penjara dapat dinilai tidak tepat sebagai hukuman yang dapat diterapkan pada penyalahguna narkotika serta tidak ada lagi pembedaan pemberian hukuman terhadap penyalahguna narkotika. Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis esensi keberadaan UU Narkotika dan ratio legis Pasal 103 UU Narkotika, Secara faktual, terdapat beda tafsir dan beda pendapat antara penegak hukum tentang penerapan UU Narkotika.
Ratio Legis Pasal Kasus Penyalahguna Narkotika Narkoba merupakan masalah global, ratusan juta orang yang tercatat dalam United Nation on Drugs and Crime (UNDC) telah menggunakan zat terlarang tersebut, Dikenal sejak zaman kolonial Belanda,jenis narkotika yang digunakan yaitu candu dengan jenis mentah, masak, obat, resi, jitjing (ampas candu), morpin dan ganja. Saat itu kolonial Belanda mengeluarkan pengaturan melalui eogonine staatblat Tahun 1927 No 278 kemudian diperbaharui dengan staatblat No. 635 Tahun 1927, Sejak kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia telah membuat aturan untuk melindungi dan mengatasi peredaran gelap narkotika. Indonesia terus melakukan kebijakan terhadap penanganan kasus Narkotika termasuk dengan mendukung pengesahan dua perjanjian internasional. Pertama perjanjian tentang narkotika dan yang kedua psikotropika, Indonesia mengatur narkotika dan psikotropika kedalam dua aturan yang berbeda yakni, Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan pengaturan mengenai narkotika Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997, Indonesia membentuk lembaga koordinasi dalam mengambil langkah kebijakan nasional di bidang narkotika.
Badan Koordinasi Narkotika Nasional sebagai lembaga koordinasi menjadi benteng utama dalam memberantas penyalahgunaan narkotika, yang kemudian berdasarkan keputisan Presiden Rl Nomor l7 Tahun 2002 berubah nama menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN),Permasalahan peredaran narkoba merupkan permasalahan yang mudah cepat berkembang,dengan demikian pemerintah Indonesia terus melakukan pembaharuan terhadap regulasi narkotika agar sesuai dengan perkembangan zaman. Maka lahirlah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pengguna narkotika dijadikan subyek utama dalam UU Narkotika. Pengguna narkotika dapat disebut sebagai pecandu, pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan pada narkotika. Selain itu, UU Narkotika juga menyatakan bahwa peecandu narkotika secara fisik maupun psikis wajib diberikan rehabilitasi medis maupun sosial. 10 Pada dasarnya undang-undang narkotika menganut konsep strict liability mengandung unsur pertanggungjawaban mutlak. Artinya setiap orang yang memenuhi unsur-unsur pidana pada undang-undang narkotika dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak. Sesuai tujuannya undang-undang narkotika sebagai yang tertuang dalam Pasal 4 UU Narkotika. Pasal tersebut bermakna bahwa keberadaan UU Narkotika dijadikan wadah utama untuk menyelamatkan Indonesia dari maraknya penyalahguna narkotika yakni dengan menjamin, dan mencegah penyebaran penyalahguna narkotika. Penyalahguna narkotika diatur dalam Pasal 1 Angka 15 UU Narkotika, penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum,Secara terlampir penggolongan jenis narkotika juga dijelaskan dalam undang-undang narkotika, dimana narkotika digolongkan kedalam tiga jenis yakni golongan I,II, dan III. Narkotika Golongan I tidak diperbolehkan digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan narkotika golongan I juga perlu mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan batas jumlah tertentu. Penggunaan narkotika Golongan I jenis ganja yang digunakan untuk diri sendiri diberikan sanksi pidana penjara paling lama 4 Tahunsesuai yang tertuang dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.
Dalam menyelesaikan atau memutus pidana narkotika terkait penyalahgunaan ganja, hakim wajib memberikan rehabilitasi medis dan sosial. Hal yang menarik pada diskresi yang dimiliki hakim untuk memutus pidana terkait Penyalahgunaan ganja yakni pada Pasal 127 ayat (2) jo. Pasal 103 ayat (1) UU Narkotika, pasal tersebut mengandung makna bahwa hakim memiliki hak untuk menentukan hukuman secara alternatif artinya : ( Pertama, hakim dapat menjadikan hukuman rehabilitasi sebagai vonis akhir (putusan tetap) terhadap penyalahguna narkotika yang terbukti bersalah dengan memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi . ( Kedua, hakim dapat menetapkan bahwa rehabilitasi bukan merupakan putusan akhir (vonis) bagi penylahguna narkotika yang tidak terbukti bersalah,Artinya, meskipun yang bersangkutan tidak terbukti bersalah mereka tetap wajib menjalankan rehabilitasi sebagai bentuk penekanan terhadap penyalahguna narkotika yang tidak terbukti bersalah untuk tetap melakukan perawatan dan pengobatan.
Maka dapat disimpulkan point penting dari keberadaan Pasal ini adalah pentingnya rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika baik bersalah maupun tidak bersalah. Berdasarkan uraian diatas, Pasal 103 UU Narkotika secara implisit menegaskan bahwa keberadaan UU Narkotika ini telah memberikan paradigma baru terhadap makna dari pecandu narkotika sendiri. Pecandu narkotika tidak selalu menjadi pelaku utama dari sebuah tindak pidana, melainkan juga sebagai korban dari perbuatannya sendiri dalam menyalahgunakan narkotika. Selain keberadaan UU Narkotika, adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan Narkotika juga mendukung adanya pemberian rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. Hal ini biasanya juga dijadikan acuan oleh hakim dalam menjatuhkan hukuman rehabilitasi.
Dalam menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap terdakwa hakim wajib menjelaskan secara tegas dan jelas dimana tempat pelaksanaan rehabilitasi dalam amar putusannya Sehingga Ratio Legis dari Pasal 103 Undang-undang Narkotika adalah hakim wajib memutuskan dan menetapkan hukuman rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika.
Karena keberadaan Pasal 103 UU Narkotika mengandung unsur yang sesuai dengan tujuan diterbitkannya Undang-undang Narkotika untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia agar terbebas dari maraknya penyalahgunaan narkotika,Rehabilitasi merupakan salah satu cara pemberantasan atau pencegahan peredaran narkotika dapat dilakukan dengan mudah ketika para penyalahguna narkotika telah sembuh dari sakitnya karena secara otomatis ketika penyalahguna narkotika telah sembuh dari sakitnya, maka mereka akan berhenti membeli obat-obatan terlarang tersebut kepada bandar, sehingga rantai peredaran narkotika tersebut dapat terputus dan teratasi. Maka diharapkan aparat penegak hukum menjadi kompak atau seragam dalam menangani kasus penyalahguna narkotika khususnya Hakim mampu menjadikan Pasal 103 Undang-undang sebagai ratio legis dalam memutus perkara penyalahguna narkotika, Penjatuhan Pidana Terhadap Penyalah Guna Narkotika Adalah Tidak Tepat Narcose (narcosis) atau secara bahasa disebut Narkoba berarti dapat memberikan efek bius sehingga penggunanya dengan mudah tertidur atau terbius. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba adalah obat yang dapat merangsang rasa kantuk, menenangkan syaraf dan dapat menghilangkan rasa sakit.
Pengertian narkoba juga dijelaskan pada Pasal 1 UU Narkotika, dalam pasal tersebut narkoba dijelaskan sebagai obat atau zat berasal dari tanaman/bukan tanaman, sintetis atau semisintetis yang dapat menimbulkan efek ketergantungan, Sehingga dapat disimpulkan bahwa narkoba atau narkotika pada dasarnya merupakan salah satu jenis obat oral yang dapat digunakan oleh medis dengan takaran tertentu karena dapat membantu mengurangi bahkan menghilangkan rasa nyeri dan menenangkan syaraf,Tapi adapun takaran yang harus dipatuhi dalam penggunaannya sehingga obat jenis narkoba ini tidak memberikan efek ketergantungan (kecanduan) dan tidak disalah gunakan keberedaannya. Seiring perkembangan di era modern saat ini, penyalahgunaan narkoba semakin meluas. Penduduk Indonesia dengan jumlah populasi kurang lebih 270 juta, 35 juta dari jumlah tersebut merupakan anak bangsa yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, Faktor terjadinya penyalahgunaan narkoba ada dua diantaranya, Diri sendiri, rasa ingin tahu yang sangat besar merupakn pemicu utama seorang penyalah guna narkoba menggunakan narkoba tanpa memikirkan efek yang akan timbul dikemudian hari dan Lingkungan sosial, faktor lingkungan sosial ini meliputi lingkungan keluarga,sekolah ataupun pergaulan dan lain-lain.
Penyalahgunaan narkoba ini didasarkan oleh rasa ingggin coba-coba yang kemudian berkelanjut karena dipenuhi sarana dan prasarana,“Narcotics crime is classified as crime without victim in the perspective of criminology” dalam ilmu krimonologi kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang tidak merugikan korban, Pernyataan ini muncul terhadap kasus narkotika yang menjadi penyalahguna saja karena pada dasarnya seorang penyalah guna
Narkotika merupakan seorang yang harus disembuhkan dari penyakit ketergantungan, Penggunaan narkotika bagi sendiri merupakan kejahatan tanpa korban, namun berbeda dengan kasus narkotika sebagai pengedar tentu saja tindakan sebagai pengedar narkoba merugikan korban karena pengedar akan mengajak orang lain untuk menggnakan narkotika sehingga menjadi pecandu. Pengaturan tentang narkotika diatur oleh UU Narkotika, dimana tujuan dari adanya undang-undang tersebut secara spesifik yaitu menyelamatkan masyarakat Indonesia dari penyalahgunaan narkotika dengan cara mencegah dan melindungi serta menjamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu. Yang menjadi persoalan adalah penyalah guna ataupun pecandu saat ini sering dianggap sebagai subjek kriminal atau pelaku kejahatan bukan sebagai prespektif sebagai korban, contohnya penyalahguna narkotika yang dilakukan oleh kalangan artist seperti, Iwa Kusuma atau yang lebih akrab dikenal Iwa K yang tersandung kasus penyalah guna narkotika. Dimana saat itu Iwa K sebagai terdakwa diketahui memiliki tiga linting ganja, dalam surat tuntutan jaksa pada tanggal 20 September 2017 disampaikan bahwa terdakwa Iwa K terbukti melanggar ketentuan Pasal 127 UU Narkotika.
Dalam tuntutan hingga putusannya hakim memutuskan Iwa K dijatuhkan hukuman untuk menjalani rehabilitasi selama 8 bulan. Hal ini sesuai dengan alasan tuntunan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa Iwa K hanyalah pecandu narkoba yang harus disembuhkan, sehingga perlu rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO.,Contoh lainnya datang dari seorang terdakwa yang juga tersandung kasus penyalah guna narkotika yakni Bobiansyah. Salah satu penghuni Rumah Tahanan Kelas II B Kotabumi yang masuk penjara akibat penyalah gunaan narkoba. Berdrasarkan putusaan Pengadilan Negeri Kotabumi dengan nomor register perkara 231/Pid.sus/2020/PN.Kbu terdakwa dijatuhkan hukuman penjara selama 2 tahun ,6 Bulan dikurangi selama masa penangkapan. Putusan ini berdasarkan tuntutan jaksa yang menuntut Bobiansyah bin Sukirman 1 September 2020 yang menuntut terdakwa karena terbukti secara sah melanggar ketentuan Pasal 127 UU Narkotika dengan memiliki narkotika jenis sabu seberat 0,37 gram. Menjadi menarik jika dilihat dari uraian kasus diatas, bahwa dua terdakwa yang sama-sama terbukti sebagai penyalah guna narkotika tetapi malah dijatuhkan jenis hukuman yang berbeda, dapat dikatakan aparat penegak hukum telah memiliki beda tafsir terhadap penerapan undang-undang narkotika,Faktanya kedua kasus tersebut sama-sama melanggar ketentuan Pasal 127 UU Narkotika, Pasal 127 UU Narkotika biasanya dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan tuntutan bagi penyalah guna narkotika. Dalam Pasal 127 UU Narkotika Ayat (1) dijelaskan penyalahguna narkotika untuk diri sendiri golongan I dijatuhkan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, penyalah guna narkotika golongan II untuk diri sendiri dijatuhkan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun, dan penyalah guna narkotika golongan III untuk diri sendiri dijatuhkan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 127 Ayat (2) UU Narkotika bermakna hakim wajib memperhatikan unsur dalam Pasal 54, 55, dan 103 UU Narkotika dalam memustus perkara penyalahgunaan narkotika, dimana dalam Pasal 54 sendiri menjelaskan pecandu narkotika dan penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 20 Pasal 55 berisi penjelasan bahwa penyalahguna narkotika yang masih dibawah umur diwajibkan untuk melapor kepada pusat kesehatan dan lembaga rehabilitasi, sedangkan apabila penyalahguna telah cukup umur maka diwajibkan untuk melaporkan diri sendiri atau diwakilkan oleh keluarganya ke pusat kesehatan dan lembaga rehabiltasi.
Sedangkan Pasal 103 sendiri secara singkat menjelaskan bahwa hakim dapat memutus untuk memerintahkan penyalahguna narkotika yang terbukti bersalah untuk menjalani rehabiltasi dan dapat menetapkan penyalahguna narkotika yang tidak terbukti bersalah untuk menjalani pengobatan melalui rehabilitasi,Sehingga bisa disimpukan berdasarkan point penting yang tertuang pada tiga Pasal tadi wajib diperhatikan oleh hakim dalam menangani kasus narkotika agar penerapan undangundang narkotika dapat diterapkan secara tepat dan benar. Pada Pasal 127 Ayat (3) UU Narkotika dijelaskan kembali secara tegas dan jelas bahwa penyalahguna narkotika yang terbukti atau tidak terbukti sebagai korban penyalah guna tetap menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sehingga rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika bersifat wajib,Salah satu faktor adanya beda tafsir antara penegak hukum atau penerapan yang tidak sesuai tentang undang-undang narkotika disebabkan karena undangundang tentang narkotika belum mengatur perihal gramatur, jumlah atau berat narkotika yang ditemukan di tangan pengguna sebagai barang bukti sering menjadi permasalahan bagi aparat penegak hukum untuk menentukan apakah orang tersebut dari awal dapat ditetapkan sebagai penyalahguna, pecandu ataupun pengguna yang harus diproses atau tidak. Rehabilitasi dikenal sebagai proses pengobatan untuk menyembuhkan pecandu narkotika dari ketergantungan, rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan bentuk perlindungan sosial yang tujuannya agar pecandu narkotika dapat tertib sosial dan tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika saat ia kembali ke lingkungan masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat 2 (dua) jenis rehabilitasi, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,Rehabilitasi medis merupakan proses menghentikan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan dirumah dan dibawah pantuan dokter, sedangkan rehabilitasi sosial dilakukan secara terpadu baik secara fisik,mental, maupun sosial. 23 Kegiatan rehabilitasi yang diberikan dapat berupa pembekalan keahlian, atau keberanian dan bekal rohani agar ketika pecandu narkotika kembali ke lingkungan masyarakat dia dapat melindungi dirinya dan tidak memiliki keinginan untuk mengonsumsi narkoba lagi,Selain itu dasar penerapan pemidanaan dengan rehabilitasi pada UU Narkotika keberadaan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No.04 Tahun 2010 Tentang penempatan penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial mendukung secara jelas pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. 25 Dalam UU Narkotika memberikan kewenangan terhadap penegak hukum khususnya Hakim untuk merehabilitasi penyalahguna narkotika. Sesuai Pasal 103 UU Narkotika yang menyatakan “Hakim menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna yang terbukti bersalah, dan menetapkan untuk menjalani rehabilitasi terhadap penyala guna yang tidak terbukti bersalah”. Dengan demikian adanya undang-undang narkotika yang bersifat ‘khusus’ ini aparat penegak hukum khususnya hakim dituntut untuk mampu merefleksikan isi pasal sesuai yang tertuang dalam undang-undang tersebut.
Karena undang-undang UU Narkotika menganut “double track system” yang artinya pemidanaan bagi penyalah guna yang digunakan untuk dirinya sendiri diberikan hukuman rehabilitasi sedangkan bagi pengedarnya diberikan hukuman penjara hingga pidana mati. Hal ini berlaku untuk seluruh lembaga pengadilan di Indonesia,Selain uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hakim dituntut mampu menerapkan regulasi UU Narkotika sesuai dengan tujuannya yaitu ‘melindungi ,menyelamatkan, dan menjamin rehbailitasi’ bagi penyalahguna narkoba. Hal ini juga diperjelas pada Pasal 54 UU Narkotika yang mengandung makna penyalahguna dan pecandu narkotika wajib menjalankan rehabilitasi, sehingga bisa disimpulkan seharusnya penyalahguna dan pecandu narkotika berhak direhabilitasi (disembuhkan) bukan untuk dikirim ke dalam penjara. Regulasi narkotika ini diterbitkan sebagai alat untuk menyembuhkan penyakit penyalah guna narkotika dari sakit ketergantungannya. Menurut menteri kesehatan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis merupakan hal yang ampuh untuk mengatasi banyaknya penyalah guna narkoba. Berdasarkan Pasal 103 ayat 2 UU Narkotika sebagai bentuk konvensi narkotika yang sudah dilakukan amandemen, rehabilitasi sama halnya dengan hukuman penjara,
Penjara dianggap sebagai wadah penyebaran penyalahgunaan narkotika yang sistemis dan tidak mampu menyembuhkan pecandu narkotika, dibandingkan rehabilitasi yang dianggap lebih bermanfat bagi penyalahguna, keluarga, bangsa, dan negara daripada hukuman penjara,Sehingga penjatuhan pidana bagi penyalah guna narkotika bukanlah tindakan yang dapat dibenarkan karena dinilai tidak tepat, keberadaan Pasal 103 UU Narkotika. Karena Undang-undang Narkotika senidri diterbitkan secara ‘khusus’ dan menganut “double track system” berarti wajib bukan bersifat fakultatif untuk dipatuhi oleh aparat penegak hukum khususnya hakim untuk menerapkan hukuman rehabilitasi dan sebagainya sesuai dengan yang tertuang dalam undang-undang,Selain itu dengan adanya peraturan pelaksana dapat memperkuat tercapainya esensi yang terkandung dalam undang-undang narkotika. Artian lain tujuan melindungi, menyelamatkan dan menjamin rehabilitasi penyalahguna narkotika dapat dicapai.
Ratio legis dari Pasal 103 Undang-undang Narkotika adalah hakim wajib memutuskan dan menetapkan hukuman rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Karena keberadaan Pasal 103 UU Narkotika mengandung unsur yang sesuai dengan tujuan diterbitkannya Undang-undang Narkotika yakni, mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika.
Penjatuhan pidana terhadap penyalahguna narkotika dinilai tidak tepat karena banyaknya faktafakta atau kasus terkait penyalah guna narkotika yang mengalami pembedaan penanganan kasus yaitu ada sebagian kasus penyalah guna narkotika yang dijatuhkan hukuman penjara namun ada juga yang mendapat hukuman untuk rehabilitasi. Maka rehabilitasi medis dan sosial perlu diperhatikan untuk mencegah, menyelamatkan, dan menjamin rehabilitasi penyalah guna narkoba dapat tercapai. Sehingga penjatuhan hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna narkoba dapat serentak dilakukan bukan malah menjatuhkan hukuman penjara. Karena penjatuhan hukuman penjara tehadap penyalah guna narkoba bukan solusi yang tepat, terlebih lagi dapat merugikan keuangan negara karena menggunakan penjara bukan pada peruntukannya. Selain itu agar aparat penegak hukum dapat lebih jeli dan tepat dalam melaksanakan kewenangannya.
Penulis Pertama : Irhammudin.SH.MH
Penulis Kedua : Prof.Dr.Edy Rifai.SH.MH. (Red)
Ijin berkomentar,
Jika diperkenankan melihat dari persepektif diluar hukum, dengan adanya narkoba mungkin dapat dijadikan alat seleksi alam terhadap manusia, so yg menggunakan dengan kata lain secara bertahap menuju eliminasi kehidupan, baik kehidupan sosial (hukuman badan), maupun kehidupan nyata ( rusaknya kesehatan maupun kematian) , 🙏