ABSTRAK
Ekonomi syariah atau disebut juga sebagai ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Syariah.Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah. Ekonomi Syariah berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular terlepas dari agama.
ABSTRACT
Islamic Economics or also referred to as Islamic economics, that is economics based on Syariah principles. The meaning of sharia economy is deed or business activity which is executed according to syariah principle which include syariah bank, syariah micro finance institution, sharia insurance, reasuransi syariah, sharia mutual fund , sharia bonds and sharia medium-term securities, sharia securities, sharia financing, shariah pawnshops, syariah financial institution pension funds and sharia business. Sharia economics is different from the conventional economy that develops in today’s world based solely on secular values regardless of religion.
- PENDAHULUAN.
Di Indonesia bisnis ekonomi syariah sudah masuk keberbagai wilayah tanah air, mulai dari wilayah perovinsi, kabupaten hingga kecamatan. Di Kabupaten misalnya terdapat Bank Muamalah, Bank Syari’ah, BRI Syari’ah, BNI Syariah, Bank Danamon Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, BPR Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Pegadaian Syariah, Koperasi Syariah dan lain-lain.
Bank-bank yang menggunakan label syari’ah selain tugasnya menghimpun dana masyarakat, juga mendistribusikan dengan menawarkan sejumlah pinjaman kredit kepada masyarakat . Pinjaman uang yang diberikan kepada masyarakat yang memerlukan ( nasabah debitur), tentunya harus disertai syarat-syarat yang dapat menjamin agar tidak terjadi kredit macet yang dapat merugikan pihak bank sebagai kreditur.
Salah satu syarat yang dijadikan sebagai agunan adalah berupa sertifikat tanah. Apabila terjadi kredit macet, konsekuensinya jaminan tersebut dapat dijadikan pelunasan kredit dengan cara menguangkan apa yang menjadi jaminan kredit itu. Dalam praktek perbankan biasanya jaminan sertifikat tanah tersebut dibebani hak tanggungan, guna memberikan perlindungan hukum bagi kreditur apabila debitur terjadi wanprestasi atau cidra janji. Apabila terjadi kredit macet, Pihak bank yang ingin mengembalikan uangnya dari debitur yang wanprestasi/ cidra janji, akan mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama. Dalam hal ini Pengadilan Agama di Indonesia tentunya harus siap menerima dan melaksanakan eksekusi hak tanggungan yang diminta oleh perbankan. Hampir dapat dipastikan nantinya setiap Ketua Pengadilan Agama akan menerima permohonan eksekusi hak tanggungan ini, dan akan diuji kemampuan dan kualitasnya dengan mengangkat kewibawaan, mengingat perbakan syariah sudah banyak membuka bisnisnya diberbagai kabupaten, yang notabene disitu terdapat Pengadilan Agama.
Berbicara masalah eksekusi Hak Tanggungan, dapat dilihat dari tujuannya suatu Sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai titel eksekutorial. Apabila pihak Debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi) dan hal itu sungguh-sungguh harus dibuktikan dan terbukti karena ia tidak dapat membayar utangnya itu sampai jatuh tempo, maka Kreditur dapat menggunakan jalan melalui permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama tanpa harus melalui prosedur gugatan. Sehingga hal ini merupakan jalan pintas yang cepat dan murah untuk menyelesaikan masalah utang piutang yang macet dalam pelunasannya. Dengan demikian dapat diharapkan melalui kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap Kreditur dapat terwujud.
-
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA.
Kasus kredit bermasalah dalam dunia perbankan seringkali terjadi, hal ini disebabkan karena debitur cidra janji/wanprestasi. Pada awalnya pembayaran kredit lancar, dan pihak perbankan diuntungkan, bahkan ada pula nasabah debitur yang belum lagi lunas, pihak kreditur kembali menawarkan pinjaman kepada nasabah debitur tersebut, yang dinilai sukses dalam menjalankan bisnisnya dan lancar dalam pembayaran kreditnya. Nasabah Debitur yang mendapat angin sorga, mau saja memberikan agunan tambahan sertifikat tanah, sebagai jamainan yang diminta oleh bank demi mendapatkan pinjaman uang tambahan. Tidak heran terdapat beberapa sertifikat tanah yang dijadikan jaminan, objek bendanya terletak di beberapa daerah, yang terpenting debitur dapat membayar kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Apabila nasabah debitur suatu ketika entah sebab apa, membuat dirinya tidak mampu membayar kredit yang diperjanjikan (kredit macet), nasab debitur dinilai wanprestasi/cidra janji, maka pihak bank jika tidak dapat menegosiasikan dengan nasabah, atau tidak ditemukan jalan keluarnya, akan menempuh jalur hukum, meskipun disadari akan memakan waktu yang lama dan mengahabiskan biaya besar.
Penyelesaian masalah seperti ini, biasanya bank sebagai kreditur akan meminta kepada Pengadilan Agama untuk dilaksanakan eksekusi. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan Pengadilan Agama sebelum menerima permohonan eksekusi tersebut :
- Periksa dan teliti apakah sertifikat tanah yang dijadikan agunan nasabah debitur kepada bank sebagai kreditur sudah didaftarkan ke PPAT, dan selanjutnya PPAT membuat Akte Hak Tanggungan (Pasal 10 ayat 1 UUHT).
- Harus ada perjanjian utang antara nasabah debitur kepada pihak bank dengan menggunakan akad syariah bukan akan konvensional.
- Terdapat bukti pendaftaran Hak Tanggungan pada kantor pertanahan ( Psal 13 ayat (1), pasal 14 ayat (1) dan (2) UUHT ).
- Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan kantor pertanahan memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
- Perhatikan subjek dan objek harta berupa tanah yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan, apakah berada dalam wilayah hukum Pengadilan Agama saudara atau bukan.
Untuk menentukan kompetensi relatif atas permohonan eksekusi hak tanggungan yang diajukan oleh pihak bank, maka berdasarkan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR permohonan diajukan ke Pengadilan Agama dalam wilayah hukum tempat tinggal Termohon eksekusi, dan jika Termohon eksekusi mempunyai alamat yang berlainan, Pemohon eksekusi dapat memilih salah satu Pengadilan Agama dalam wilayah hukum tempat tinggal Termohon eksekusi. Permohonan eksekusi yang diajukan oleh Pemohon dengan memilih salah satu alamat tersebut tidak melanggar asas actor sequitur forum rei yang digariskan Pasal 118 ayat (1) HIR. Namun demikian pengajuan permohonan eksekusi hak tanggungan, karena objeknya jelas-jelas adalah berupa tanah, atau benda tidak bergerak, maka penerapan yuridiksi berdasarkan tempat tinggal Termohon sudah tidak tepat lagi. Berbeda halnya jika objeknya benda-benda bergerak, maka penerapan yuridiksi berdasarkan tempat tinggal Termohon (actor sequitur forum rei), memang harus dilakukan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 142 ayat (1) R.Bg. Bahkan di dalam Rv hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 99 ayat (1) berbunyi “Seorang Tergugat dalam perkara pribadi yang murni mengenai benda-benda bergerak, dituntut dihadapan hakim ditempat tinggalnya”
Sementara itu, jika objek harta tanah (barang tidak bergerak) yang tersebut dalam sertifikat hak tanggungan itu berada diluar wilayah hukum tempat tinggal Termohon eksekusi, maka pengajuan permohonan eksekusi dilakukan ke Pengadilan Agama dalam wilayah hukum dimana objek harta tanah tersebut berada, bukan berpatokan kepada tempat tinggal termohon eksekusi. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 118 ayat (3) HIR atau Pasal 142 ayat (5) R.Bg yakni tunduk pada asas forum rei sitae. Berikutnya jika objek eksekusi Hak Tanggungan terletak dibeberapa daerah, dan disana terdapat Pengadilan Agama, maka pihak Pemohon eksekusi (bank) selaku kreditur boleh memilih salah satu Pengadilan Agama tersebut, untuk tempat diajukannya permohonan eksekusi.
Selanjutnya apabila ditemukan dalam klausul perjanjian para pihak yang dibuat dalam bentuk akta tertulis, telah menyepakati memilih Pengadilan Agama tertentu yang berwenang menyelesaikan masalahnya seperti eksekusi hak tanggungan jika terjadi nasabah debitur wanprestasi atau cidra janji, maka hal ini harus dilaksanakan oleh Pengadilan Agama tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dibuat kedua belah pihak, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 118 ayat (4) HIR. Persetujuan para pihak memilih salah satu Pengadilan Agama tertentu untuk menyelesaikan masalahnya, merupakan prinsip yang harus dilaksanakan dan tunduk pada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) sebagaimana yang digariskan Pasal 1338KUHPerdata.
III. KLASIFIKASI EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN.
Eksekusi Hak Tanggungan (jaminan), tidak termasuk eksekusi riil, tetapi eksekusi ini mendasarkan pada alas hak eksekusi yang bertitel atau irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai titel eksekutorial, berlaku peraturan eksekusi yang dikenal dengan parate eksekusi yang diatur dalam Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg.
Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggunan sebagai jaminan kredit, dapat diklasifikasikan dengan tiga cara, yaitu :
- Hak pemegang Hak Tanggungan pertama dapat menjual Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUHT ( J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan,Hak Tanggungan, Bandung, PT.Citra Aditya, hal. 271.), yang berbunyi “Apabila debitur cidra janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.Ketentuan ini telah memberikan kepada Pemegang Hak Tanggungan pertama langsung datang kepada Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan apabila jalan damai tidak tercapai. Untuk dapat menggunakan kewenangan menjual obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan lebih dahulu dari Debitur diperlukan adanya janji Debitur yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT, dan janji itu wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
- Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat 2 dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang diterbitkan kantor pertanahan. Eksekusi Hak Tanggungan seperti ini dapat dilakukan melalui Ketua Pengadilan Agama, karena titel eksekutorial pada Setifikat Hak Tanggungan tersebut mempunyai kesamaan dengan Putusan Pengadilan perkara perdata yang sudah berkekuatan hukum tetap.
- Eksekusi di bawah tangan, maksudnya adalah penjualan obyek Hak Tanggungan berdasarkan kesepakatan dengan pemegang Hak Tanggungan, dengan cara ini akan diperoleh harga tinggi (H.Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 191.).
- PROSEDUR PENYELESAIAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI PENGADILAN AGAMA.
- Pemohon mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan melampirkan. :
Foto kopi Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
b. Foto kopi Surat perjanjian (akad syari’ah) utang piutang antara Pihak Kreditur dengan Debitur.
c. Foto kopi Bukti Pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan.
d. Fotokopi surat-surat tegoran/peringatan dari Bank kepada Debitur atas kelalaiannya membayar cicilan utang.
e. Surat Kuasa yang masih berlaku, jika Pemohon eksekusi menggunakan kuasa hukum. - Aan Maning
Setelah menerima permohonan eksekusi Hak Tanggungan dari Pemohon (Bank), Ketua Pengadilan Agama, memerintahkan Juru Sita/ Juru Sita Pengganti untuk memanggil Debitur yang ingkar janji untuk ditegur (aan maning), dan teguran ini sebaiknya dilakukan sebanyak 2 kali dan dalam waktu 8 hari harus memenuhi kewajibannya, yaitu membayar utangnya dengan sukarela. Dan jika debitur suami isteri, maka harus dipanggil kedua-duanya guna mengetahui faktor apa yang menjadi penyebab tidak dipenuhinya perjanjian, dan sekaligus diberikan peringatan agar keduanya dapat segera memenuhi isi perjanjian tersebut. - Sita Eksekusi.
Jika pihak Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan sukarela, kemudian Ketua Pengadilan Agama memerintahkan agar tanah obyek Hak Tanggungan tersebut disita dengan sita eksekutorial oleh Panitera atau Penggantinya dengan dibantu 2 orang saksi yang memenuhi persyaratan menurut Undang-Undang.
Panitera atau Penggantinya yang telah melakukan penyitaan tersebut membuat berita acara tentang penyitaan itu dan memberitahukan maksudnya kepada orang yang barangnya tersita apabila ia hadir pada waktu itu. Apabila yang disita berupa barang tidak bergerak (tanah) yang sudah didaftarkan di kantor pendaftaran tanah, maka berita acara penyitaan itu diberitahukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran tanah yang bersangkutan. Akan tetapi jika tanah yang disita itu belum didaftarkan, maka berita acara penyitaan diumumkan oleh Panitera atau Penggantinya. Di samping itu Panitera/Penggantinya meminta kepada Kepala Desa/Lurah setempat untuk mengumumkan seluas-luasnya di tempat itu dengan cara yang lazim digunakan di daerah itu. Jika setelah disita ternyata Debitur tetap lalai, maka tanah tersebut akan dijual lelang. - Penjualan Lelang.
Pelelangan atas barang tidak bergerak berupa tanah milik Debitur yang dijadikan jaminan, dilakukan dengan perantaraan bantuan Kantor Lelang Negara yang ada didaerah yang bersangkutan.
Tata cara mengajukan lelang.
- Pemohon/Penjual (Pengadilan Agama) mengajukan permohonan lelang secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan dilampiri syarat-syarat sebagai berikut :
a. Penetapan Ketua Pengadilan Agama.
b. Aanmaning/teguran.
c. Penetapan Sita atas Objek Hak Tanggungan.
d. Berita Acara Sita.
e. Perincian hutang.
f. Pemberitahuan lelang kepada Termohon lelang.
g. Foto kopi bukti kepemilikan (sertifikat Hak Tanggungan). - Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang menetapkan hari, dan tanggal pelaksanaan lelang setelah dilakukan analisa kelengkapan dokumen.
- Pemohon melaksanakan pengumuman lelang melalui surat kabar harian atau media elektronik dengan ketentuan pengumuman pertama dan kedua berjarak waktu 15 hari, dan pengumuman kedua dengan pelaksanaan lelang tidak boleh kurang dari 14 hari.
- Peserta lelang menyetor uang jaminan kerekening KPKNL.
- Penyerahan petikan risalah lelang dan dokumen pendukung lainnya kepada pemenang lelang dan salinan risalah lelang kepada Pemohon lelang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.
Hasil penjualan lelang akan dipergunakan untuk membayar tagihan kepada bank/Kreditur, setelah dibayar/ dikeluarkan terlebih dahulu biaya lelang dan apabila ada kelebihan, maka uang tersebut akan dikembalikan kepada Penanggung utang/nasabah debitur.
V. ANALISA PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PROBLEMATIKANYA.
- Kreditur Harus Mendapat perlindungan Hukum.
Undang-Undang Hak Tanggungan telah menentukan obyek Hak Tanggungan tidak hanya tanah saja, tetapi berikut benda-benda lain di atas tanah yang bersangkutan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Hal ini harus dimuat secara tegas dalam Surat Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan dan dimasukkan pula dalam Akta Hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT sebagai bentuk perlindungan hukum kepada kreditur. Nasabah/debitur yang jelas-jelas cidra janji/wanprestasi, tidak boleh sampai merugikan kepentingan kreditur.
Permohonan eksekusi obyek Hak Tanggungan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama, ada yang dapat dilakukan eksekusinya dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah eksekusi obyek Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah tersebut dalam prakteknya tidak semudah yang diperkirakan atau dengan kata lain masalah eksekusi Hak Tanggungan masih banyak kendala dalam praktek.
Dalam prakteknya Kreditur sering menerima jaminan tanah, tanah dan bangunan yang mana sertifikat tanah sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, karena tanah, tanah dan bangunan tersebut telah dijual dengan membuat Akta PPAT, namun balik nama belum dilakukan oleh Kantor Pertanahan yang bersangkutan. Kalau terjadi hal demikian pengikatan jaminan bisa dilakukan bersamaan dengan proses balik nama setelah itu dilakukan Pendaftaran Hak Tanggungannya oleh Kantor Pertanahan yang bersangkutan. - Pemberi Hak Tanggungan tidak bersedia melaksanakan pengosongan dengan suka rela.
Untuk menyikapi kasus seperti ini, jika benar-benar Pemberi hak Tanggungan, atau keluarganya tidak bersedia mengosongkan atau keluar dari obyek yang telah dieksekusi itu, maka pelaksanaannya dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Agama dimana obyek Hak Tanggungan itu terletak, setelah adanya permohonan pengosongan dari pihak pemenang lelang sebagai pemegang Hak atas tanah atau tanah dari bangunannya yang baru. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 200 ayat (11) HIR yang berbunyi “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau meninggalkan barang-barang yang tidak bergerak itu, maka Ketua Pengadilan Agama atau magishaat yang dikuasakan harus memberi surat perintah kepada seorang yang berhak menyita, supaya kalau perlu dengan bantuan polisi, pihak yang dikalahkan itu beserta keluarganya disuruh meninggalkan/mengosongkan barang yang tidak bergerak itu. - Pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya melakukan perlawanan.
Sering terjadi dimana ketika pelaksanaan eksekusi dilakukan atas permohonan pemegang Hak Tanggungan Pertama, atau pada saat sita eksekusi, Pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya melakukan perlawanan dengan dalil bahwa Pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya juga berhak atas objek yang disita eksekusi tersebut, mengingat debitur yang cidra janji itu telah menjadikan objek eksekusi tersebut sebagai agunan kepada Pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya. Terhadap masalah seperti ini Undang-undang Hak Tanggungan tidak ada mengaturnya, tetapi penyelesaiannya dapat dilakukan melalui materi hukum acara perdata.
Dalam menghadapi perlawanan demikian, hakim/Ketua Pengadilan Agama harus menolak, karena perlawanan terhadap sita eksekusi hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga atas dasar dalil adanya kepemilikan. Pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan serusnya bukanlah pemilik, tetapi ia mempunyai hak untuk memohon pelunasan piutangnya yang juga dijamin atas tanah yang disita eksekusi tersebut. Pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya jika ingin agar pelunasan piutangnya dibayar, maka caranya dengan mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama tersebut atas dasar Hak Tanggungan yang dimilikinya. Sehingga perolehan uang dari hasil lelang eksekusi tersebut, setelah dibayarkan terlebih dahulu kepada pemegang Hak Tanggungan pertama, kemudian sisanya jika masih ada dibayarkan kepada Pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya.
Demikian sekilas pembahasan praktek eksekusi hak tanggungan, dan berbagai problematikanya yang mungkin terjadi di Pengadilan Agama. Penulis menyadari eksekusi hak tanggungan ini merupakan hal yang sangat penting, mengingat kewibawaan Pengadilan Agama akan tercermin, pada kemampuan seorang Ketua untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan baik dan tuntas. Semoga tulisan ini ada mamfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA.
Abdurrahman, Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum Indonesia, Alumni Bandung, 1990.
Budi Harso, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan 8. Jakarta, Djambatan, 1987.
- Salim HS,Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindi Persada, Jakarta 2004.
- Satrio,Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku II, Cetakan I, Bandung, PT. Citra Aditya bakti, 1998.
M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, PT. Gramedia, 1988.
- Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan II, Jakarta, Sinar Grafika,2005.
Rahmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta, Djambatan, 1999.
Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan I, Bandung, Alumni, 1999.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pemenag Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelasanaan PP Nomor 24 Tahun 1997.