Tubaba, lensahukumnews.com – Tragedi di pabrik singkong PT Mentari Prima Jayaabadi membuat suasana panas di Tulang Bawang Barat. Pengopenan yang meledak sepekan lalu menelan korban: enam pekerja luka-luka, satu di antaranya meninggal dunia. Mirisnya, pekerja diduga tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar keselamatan kerja.(22/9/2025)
Atas perintah Ketua DPRD Tubaba, Busroni, empat anggota DPRD—Yantoni, Arif Bandarsah, Joko Kuncoro dan Arya Saputra—turun langsung meninjau lokasi. Hasilnya, mereka menemukan banyak pelanggaran yang membuat darah mendidih.
“Kalau pekerja tidak pakai APD, ini kesalahan perusahaan. Perusahaan harus bertanggung jawab!” tegas Yantoni dengan nada marah.
Ia juga menyoroti angkutan perusahaan yang kerap overload dan merusak jalan daerah. “Sebelum kerja di sini, seharusnya semua dijamin. Ini abai terhadap keselamatan. Kami minta pabrik ini stop dulu operasinya, benahi semua! Jangan hanya mengeruk keuntungan, tapi merusak jalan dan membiarkan nyawa melayang,” ujarnya lantang.
Lebih jauh, Yantoni mempertanyakan serius penerapan K3 di pabrik tersebut. “Kita harus lihat sebab, bukan sekadar akibat. Ini sudah mengakibatkan kematian. Harus ada sanksi pidana dan administrasi. K3 ini jangan cuma formalitas izin di atas kertas. Di pintu masuk saja harusnya sudah ada APD, tapi faktanya tidak!”keluh yantoni, dia juga meminta polisi usut tuntas tindakan pidananya agar ada yang bertanggung jawab terhadap nyawa yang sudah melayang.
Arif Bandarsah menambahkan, pengopenandipabrik ini seharusnya ditangani oleh tenaga ahli, bukan sekadar pekerja harian. “Kalau pakai sepatu bot, kakinya tidak akan melepuh. Ini jelas ada kelalaian. APD saja tidak ada—berarti ini kesalahan perusahaan,” sesalnya.
Namun, pihak perusahaan melalui Agus mencoba berdalih. “Korban adalah pekerja harian lepas. Kami sudah tanggung biaya rumah sakit sampai pemakaman, bahkan kami berikan santunan Rp50 juta tadi saat wakil bupati turun,” ujarnya.
Pernyataan itu justru membuat keluarga korban semakin kecewa. “Tidak ada BPJS tenaga kerja! Anak saya kerja tanpa alat pelindung diri. Semua pekerja di bagian pengopenan itu harian, tidak ada jaminan keselamatan. Makanya anak saya jadi korban!” ungkap orang tua korban dengan mata berkaca-kaca.
Tragedi ini mengguncang masyarakat. Pertanyaannya kini: apakah nyawa pekerja hanya seharga santunan Rp50 juta? Apakah perusahaan akan terus beroperasi tanpa pembenahan? DPRD Tubaba sudah angkat suara, kini bola panas ada di tangan pemerintah daerah dan penegak hukum.
(Nurul)

