Kotabumi,-Lensahukumnews.com
Fenomena anjloknya harga singkong yang cenderung merugikan petani singkong, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) provinsi Lampung beserta Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) menggelar seminar dan fokus grup diskusi (FGD) terkait solusi atas fenomena fluktuasi harga singkong.
Seminar dan FGD yang dilaksanakan di aula gedung Rektorat UMKO (24/6) ini bertemakan, ” Paradoks Kelimpahan dan Solusi Alternatif”, lebih memofuskan pada aspek hilirisasi hasil tanaman singkong. Acara ini melibatkan kalangan kelompok tani, perusahaan penampung hasil tanaman pangan dan hortikultura, mahasiswa. Hadir sebagai narasumber akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Gatot Supangkat, S., M.P., IPU, Asean Eng, dan peneliti komoditas pertanian, Ir. Surono Danu.
Pada kesempatan itu, Rektor UMKO, Dr. Irawan Suprapto, M.Pd menyatakan, seminar dan FGD ini bermula atas diskusi dengan pimpinan wilayah Muhammadiyah atas fenomena yang paradoks antara kelimpahan produk, harga dan kesejahteraan petani. “Seharusnya keterlimpahan hasil panen berbanding dengan kesejahteraan, tetapi ini tidak demikian. Oleh karenanya perlu dikaji dan didiskusikan bagaimana mencarikan solusi alternatif atas fenomena ini,” ujarnya.
Ditempat yang sama, pimpinan wilayah Muhammadiyah Lampung, Jamhari HP menyatakan bahwa acara ini berawal realita harga singkong yang cenderung anjlok berimbas pada pendapatan dan kesejahteraan petani yang ikut merosot. Lampung sendiri, menurut dia penghasil komoditas singkong terbesar di Indonesia. “Lampung provinsi pertama dalam produksi singkong. Ke depan kita harus menjadikan singkong salah satu komoditas yang harus dikembangkan. Dan kita berharap UMKO menjadi tempat pusat penelitian untuk mengembangkan komoditas singkong”, ucapnya.
Sementara Bupati Lampura, Hamartoni Ahadis saat membuka acara seminar dan FGD itu menyampaikan, di Lampura tanaman singkong memiliki potensi besar dengan lahan seluas kurang lebih 20000 hektar. Namun kata dia, fluktuasi harga yang di luar ekspektasi petani yang membuat gejolak. Pemerintah juga telah ikut mengambil kebijakan dengan menetapkan harga Rp.1.350/Kg. Tetapi harga tersebut dianggap tidak menguntungkan perusahaan. ” Pemerintah berkali-kali menjembatani dengan menetapkan harga singkong. Namun mungkin harga tersebut dianggap berat bagi perusahaan yang akhirnya perusahaan-perusahaan penerima singkong tutup. Yang buka hanya lapak-lapak singkong itupun dengan harga yang di luar ekspektasi. Kedepan kita upayakan bagaimana para petani singkong tidak hanya menjual singkong sebagai bahan baku melainkan dalam bentuk lainnya,” ungkapnya.
Sebenarnya, lanjut dia, masih banyak komoditas-komoditas pertanianlainnya yang perlu disentuh dan dikembangkan di Lampura. Untuk itu pemkab sangat berharap adanya kerjasama semua pihak khususnya dunia kampus untuk berdiskusi dan memberikan masukan untuk masa depan pertanian kedepan.” Kita berharap dan terbuka dengan kaum akademisi untuk ikut mengembangkan pertanian kita guna me capai visi Lampura yang sejahtera dan bermartabat,” harapnya.(*)

