Lensahukumnews.com,-Membincang kekerasan terhadap perempuan dan anak serta upaya perlindungannya, sesungguhnya bukanlah hal baru sebab sejak disyahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1884 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, maka secara regulative negara wajib mewujudkan upaya-upaya perlindungan secara tegas baik perlindungan yang bersifat pencegahan maupun penanggulangan serta pemenuhan hak-hak bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Dan kondisi ini merupakan bagian dari upaya pencapaian tujuan Bangsa Indonesia dalam memberikan perlindungan bagi seluruh masyarakat Indonesia termasuk pada perempuan dan anak.
Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu negara merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Dalam konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan terdapat tiga puluh pasal, di antaranya lima pasal pertama memuat dasar pemikiran penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan memang tidak menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan secara khusus, tetapi dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Perempuan harus dinyatakan secara eksplisit dan khusus dijamin hak asasinya karena perempuan dalam kajian dan pengaturan beberapa konvensi internasional dimasukkan ke dalam kelompok yang rentan, bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi. Perempuan dimasukkan ke dalam kelompok yang lemah, tidak terlindungi; karena itu, selalu dalam keadaan yang penuh risiko serta sangat rentan terhadap bahaya. Salah satu di antaranya adalah kekerasan yang datang dari kelompok lain. Kerentanan ini membuat perempuan sebagai korban kekerasan mengalami fear of crime yang lebih tinggi daripada laki-laki
Sebagai wujud perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak di Indonesia, lahirlah beberapa peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit dan implisit mengatur perlindungan bagi perempuan dan anak sebagai korban kekerasan, diantaramnya adalah Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Perlindungan anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun secara defacto Disparitas antara hukum dan kekerasan seksual yang terjadi seolah memberi isarat bahwa hukum belum mampu menunjukkan kekuatannya sebagai alat untuk mengontrol prilaku masyarakat untuk sadar bahwa setiap manusia harus bebas dari penindasan dan prilaku kekerasan termasuk bagi perempuan dan anak. Bahkan bagi banyak korban kekerasan seksual enggan melaporkan kekerasan yang dialami atau hanya terhenti di kepolisian saja dalam hal ini pada Unit Pengaduan Perempuan dan Anak (UPPA) terlebih pada kekerasan seksual yang terjadi pada ranah keluarga seperti KDRT selalu menunjukkan stagnisasi proses hukum. . kondisi ini diperkuat dengan data yang disajikan dalam catatan tahunan KOMNAS Perempuan Tahun 2020 bahwa UPPA (lembaga dibawah kepolisian) menempati urutan tertinggi pertama yang menerima laporan dan pengaduan terjadinya kekerasan seksual yakni sebanyak 4.124 kasus namun tak sebanding dengan jumlah kasus yang berlanjut di Pengadilan Negeri yang hanya sejumlah 940 Kasus.
Mendiskusikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dengan segala penyelesaiannya kasusnya, sesungguhnya tidak hanya mendiskusikan dari aspek yuridis semata. Namun ada aspek sosiologis dan psikologis yang juga perlu didiskusikan secara mendalam. Pembahasan aspek sosiologis diperlukan untuk menganalisis motif terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak serta dampak yang dialaminya sebagai akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Analisis aspek Psikologis diperlukan untuk mengetahui beban psikologis yang dialami oleh korban pasca terjadinya kekerasan seksual. Sedangkan analisis dari aspek Yuridis diperlukan untuk mengetahui kelemahan pengaturan Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam melakukan proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual.
Gagalnya pengesahan RUU KUHP dan RUU PKS tahun lalu menjadi wajah suram keadilan bagi para korban kekerasan seksual. Lahirnya RUU KUHP sebagai Payung hukum Pidana memberi aroma segar bagi penegakan hukum pidana khususnya terkait dengan kekerasan seksual, sebab dalam perumusannya disebutkan bahwa kekerasan seksual merupakan bagian dari tindak pidana khusus yakni tindak pidana terhadap hak asasi manusia yang meliputi pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan lainnya, yang secara lebih khusus, dirumuskan dalam RUU Pencegahan Kekerasan Seksual. Sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan mulia Bangsa Indonesia yakni untuk memberikan perlindungan , rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sebab setiap bentuk Kekerasan Seksual merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus.
Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi Wanita). Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki – perempuan) harus dihapus. Misalnya, perlakuan pemberian upah buruh wanita dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula dunia politik bukanlah milik pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi perbedaan penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya tetapi karena perbedaan pada prestasi. Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria. Kita tidak dapat menyangkal besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak . Hal ini menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar diskriminasi.
Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil (ketidakadilan gender) tidaklah merupakan perjuangan perempuan melawan laki-laki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat,berupa ketidakadilan gender. Untuk mengakhiri sistem yang tidak adil ini ada beberapa agenda yang perlu dilakukan, yakni : 1. Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi idiologi. Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan di mana saja. … dst. 2. Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan18 . Melawan hegemoni yang merendahkan harkat dan martabat perempuan patut dilakukan, sebab hegemoni itu sebenarnya hanya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial. Diantara caranya adalah dengan melakukan konstruksi hukum, yang memberi dasar bagi perempuan dalam melawan hegemoni yang tidak adil dijamin dalam berbagai instrumen hukum, baik dalam instrumen hukum internasional maupun nasional. Di antara cara untuk dapat mewujudkan kesetaraan bagi perempuan dengan meningkatkan jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen, karena pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dipengaruhi oleh anggota parlemen itu sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan keanggotaan perempuan di parlemen harus terus dilakukan. Karena sampai saat ini jumlah anggota DPR perempuan belum pernah mencapai angka 30%19. Untuk itu, perlu dirumuskan mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik semakin meningkat di masa mendatang. Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perempuan, atau paling tidak telah disusun dengan perspektif kesetaraan gender, tentu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan, atau paling tidak belum sensitif gender. Apalagi hingga saat ini masih banyak berlaku ketentuan peraturan 18 Mansour Fakih,Analisis Gender & Transformasi Sosial,Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004, h. 152-153. 19 Keterwakilan perempuan di DPR hasil Pemilu 1999 hanya 9,2%, pada Pemilu 2004 11,81%, pada Pemilu 2009 18,6% dan pada Pemilu 2014 17,32%, data dari http://www.selasar.com/politik/keterwakilan-perempuan-di-parlemen-baru, diakses 4 Mei 2015. Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 731 perundang-undangan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda. KUHP misalnya, ia belum mengenal kekerasan berbasis gender (gender based violence). Dapat dilihat dari rumusan pasal-pasal mengenai atau mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan; pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan seksual dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan dan bukan kejahatan atas integritas tubuh perempuan, dll20. Peraturan formal meliputi peraturan yang mengatur bagaimana delik tersebut diterapkan melalui proses peradilan, mulai dari pelaporan, penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan peradilan, putusan dan eksekusi, sebagaimana tertuang di dalam KUHP, belum memadai mengatur tentang hak perempuan sebagai korban kekerasan dan hak perempuan sebagai “pelaku”. Selain dari sisi substansi aturan hukum, tantangan yang dihadapi adalah dari struktur penegakan hukum dan budaya hukum. Di bidang struktur penegak hukum, sebagai korban atau saksi, perempuan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Untuk itu proses perkara, mulai dari penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, hingga persidangan perlu memperhatikan kondisi tertentu yang dialami perempuan21. Misalnya saat dilakukan penyidikan, perempuan korban kekerasan tentu membutuhkan ruang tersendiri, apalagi jika kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual yang tidak semua perempuan mampu menyampaikannya secara terbuka. Demikian pula terkait dengan persidangan yang membutuhkan jaminan keamanan baik fisik maupun psikis. Apa yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum menunjukkan bahwa mereka belum mengutamakan kepentingan korban. Sehingga akses keadilan bagi korban terhambat bahkan korban kehilangan hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan. Situasi ini merupakan indikasi lemahnya pemahaman institusi penegak hukum terhadap hak-hak korban22, terutama korban kekerasan terhadap perempuan. Budaya hukum melingkupi cara pandang masyarakat terhadap isu kekerasan terhadap perempuan, dimana saat ini sedang dibangun untuk peduli terhadap perempuan. Namun sebagian besar masyarakat masih menenggelamkan kepentingan perempuan korban kekerasan atas kepentingan yang lebih besar, seperti nama baik keluarga dan masyarakat. Bagi kasus kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, misalnya penganiayaan yang dilakukan suami.
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations 732 Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 terhadap isteri, masyarakat cenderung menganggap masalah tersebut sebagai persoalan pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain, apalagi aparat penegak hukum23. Hal tersebut membuat hak-hak korban menjadi terabaikan. Dengan demikian masyarakat pun turut melanggengkan terjadinya kejahatan itu sendiri. Hal ini sangat dipengaruhi oleh cara pandang yang bias gender dan patriarkhis. Masyarakat tidak mempunyai akses informasi terhadap proses persidangan. Masyarakat tidak mengetahui apa yang sesungguhnya telah dilaksanakan oleh penegak hukum, dan bagaimana proses penegakan hukum dilakukan. Masyarakat hanya mengetahui hasil dari proses penegakan hukum yang ada yang seringkali tidak adil terhadap perempuan. Pengetahuan masyarakat sebetulnya sangat penting dalam konteks untuk memberi masukan dalam proses penegakan keadilan terhadap korban. Hal itu menunjukkan bahwa adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan tidak cukup untuk memastikan tegaknya hak konstitusional tersebut. Peraturan perundang-undangan harus diikuti dengan adanya penegakan hukum yang sensitif gender serta yang tidak kalah pentingannya adalah perubahan budaya yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya tertentu bukanlah hal yang mudah, bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan hukum. Cara yang lebih tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya setempat merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Antara tahun 1998-2008 banyak keluar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dapat dikatakan sepuluh tahun ini merupakan periode paling progresif dalam perlindungan hak asasi manusia. Tidak ketinggalan juga di dalamnya adalah pengaturan perlindungan hak asasi perempuan. Dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang keluar pada tahun tersebut masalah hak perempuan mendapat perhatian serius Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations Jurnal Konstitusi, jenis kelamin yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perempuan, atau paling tidak telah disusun dengan perspektif kesetaraan gender, masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
Penulis : Elfa Murdiana / 203201001 (Red)