Dibalik pro kontra disyahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh DPR RI, Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial (FHIS) Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) Suwardi melayangkan surat yang ditujukan kepada Persiden dan Ketua DPR RI.
Suwardi menyatakan paling tidak ada sepuluh alasan mengapa pembahasan RUU KPK tersebut harus dihentikan yakni Independensi KPK terancam, Penyadapan dipersulit dan dibatasi, Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, dan Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selanjunya adalah Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan serta Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Jika sampaikan RUU tersebut disahkan menjadi UU maka menurut Suwardi keberadaan KPK tidak ubahnya seperti lembaga-lembaga penegak hukum lainnya yang cenderung tidak bekerja dengan leluasa dalam memberantas korupsi.
“Kalau sampai itu terjadi, pemerintahan yang sekarang sama saja membunuh KPK. Karena KPK dipereteli, kaki, tangannya jadi enggak ada fungsinya lagi,” kata Suwardi.
Namun demikian masih ada harapan karena saat ini, revisi UU KPK baru menjadi RUU inisiatif DPR yang telah disahkan dalam rapat paripurna. Artinya, masih perlu respons presiden untuk membahas revisi RUU tersebut. Jika presiden tidak menerbitkan surat presiden untuk DPR supaya melakukan pembahasan revisi undang-undang, maka pembahasan itu akan terhenti. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 20, pungkas Suwardi(Red Arif)