Pagi itu matahari belum terbit, namun cuaca cerah saat saya mendampingi Ningrat Trans menjemput rombongan santri Pondok pesantren Nahdlatul Ulum, dibilangan Bernah, Kelurahan Kotaalam Kotabumi Selatan.Untuk melakukan wisata religi ziarah kemakam Waliatul Allah yang berada di Provinsi Lampung.
Tatapan riang Jelas terlihat dari mata para santri, karena dihari itu mereka terlepas dari rutinitas kegiatan pesantren yang begitu padat walau hanya untuk sehari.
Dari kerumunan santri Ponpes Nahdlatul Ulum itu ada salah satu santri yang mencuri pandangan saya, ya santri tersebut begitu berbeda dari kebanyakan santri ponpes tersebut, meski mengenakan pakaian muslim seperti santri kebanyakan, dia bermata sipit khas etnik Tionghoa.

Untuk menghindari kesalahpahaman, saya coba bertanya kepada pimpinan Ponpes tersebut.
“Maaf Cak (panggilan saya kepada Agus Toni pimpinan Ponpes Nahdlatul Ulum), itu santrinya bukan ya yang seperti orang Tionghoa.?”
Ternyata benar dugaan saya, karena Cak Agus membenarkannya, dia tersenyum menjawab “Iya benar, dia muallaf, baru satu tahun ini dia mendalami Agama Islam di Ponpes yang saya bina,” ujar Cak Agus.
Rasa penasaran saya tentang Santri Cak Agus yang satu ini makin bertambah, dan terus memaksa saya untuk mengetahui tentang mengapa dia begitu ingin mendalami Islam sebagai kepercayaan yang dia anut sekarang.
Sayapun memperkenalkan diri dan menanyakan hal tentangnya. ternyata dia humble dan seru diajak bicara “Saya diberi nama Muhammad Iqbal Al Farisi sama Abah Om,” ujarnya, seraya melanjutkan kalau dirinya berasal dari Batam Kepulauan Riau.
Remaja yang bernama asli Hemsen Alphariyanto ini sepanjang jalan dia begitu riang melantunkan dzikir dan lagu lagu muslim, yang sayapun sebagai muslim tidak begitu familiar dengan apa yang dia lafadzkan.
“Saat SMP begitu tertarik mendengarkan kumandang Takbir, sejak saat itu saya mencari tahu tentang Agama Islam,” cerita Iqbal.
Sebagai bentuk keseriusannya sebagai Muslim, dia meninggalkan keluarganya di Bengkong Batam, untuk mendalami ilmu agama, sampai kebeberapa Ponpes di Indonesia.
“Pertama sekali saya belajar ke Banten di Ponpes Alfutuhiyah, kemudian ke Kalimantan Selatan di Ponpes KH Muhammad Aini, lanjut ke Mandailing Natal di Ponpes Al Musthofawiyah Purba, terakhir ke Lampung di Ponpes Nahdlatul Ulum pimpinan Abah Agus, saya ingin mengabdi disini,” celotehnya.
Ini diamini oleh Cak Agus, selama belajar Islam di Ponpes miliknya, Iqbal diberi tanggungjawab mengajarkan tentang Sempoa dan Bahasa Mandarin kepada para santri.
“Selain Bahasa Arab, Inggris, Hadroh, Tahfidz, Tilawah, Pertanian, dan Silat. Iqbal saya beri tanggungjawab mengajarkan Sempoa dan Bahasa Mandarin,” jelas Cak Agus.
Doakan saya Istiqomah dijalan yang saya pilih ini, dan tolong kalau ada yang ingin menjadi Bapak angkat bagi Ponpes tempat kami belajar ini kami merasa bersyukur. harap Iqbal.
Iqbal berhasil menunjukkan ternyata tidak semua Gen Z melulu tentang Gawai dan pergaulan yang jauh dari moral. Iqbal adalah muallaf yang berani meninggalkan gemerlap kota dan kemapanan keluarganya demi Kepercayaan yang dia anut sekarang.
ditulis oleh Kisworo Yudi
