Tubaba, lensahukumnews.com – Ironis! Di tengah dua gedung sekolah yang terlihat terbengkalai dan dipenuhi semak belukar di SMP Negeri 1 Pagar Dewa, justru kini sedang berlangsung pembangunan tiga gedung baru dan rehabilitasi dua gedung lainnya. Pemandangan kontras itu menimbulkan tanda tanya besar: untuk apa membangun lagi jika gedung lama saja tak terurus?
Pantauan di lokasi, dua gedung sekolah tampak dibiarkan terbengkalai. Rumput liar menjulang tinggi hingga menutupi sebagian dinding bangunan. Namun di sisi lain, proyek pembangunan gedung baru sedang berjalan dengan aktivitas pekerja yang terlihat.
Har, selaku kepala tukang yang memimpin para pekerja, mengaku hanya menjalankan perintah dari pihak sekolah tanpa mengetahui siapa pihak pemborong proyek tersebut.
“Saya cuma kepala tukang, tanggung jawab saya sama tukang dan kenek yang saya bawa. Ada 4 tukang dan 6 kenek yang kerja di sini. Upah tukang Rp140 ribu per hari, kenek Rp120 ribu. Biasanya Rp100 ribu, tapi karena jauh saya tambahin buat ganti uang minyak,” ujar Har saat ditemui di lokasi.
Har juga menambahkan bahwa timnya mengerjakan tiga bangunan, salah satunya berukuran kecil sekitar 4,5 x 7 meter, serta dua gedung yang direhabilitasi—yakni ruang laboratorium dan ruang tata usaha (TU).
Namun yang mengejutkan, Har menyebut proyek tersebut langsung diperintahkan oleh kepala sekolah, tanpa mengetahui siapa pemborong atau pelaksana resminya.
“Yang nyuruh saya kerja itu kepala sekolah. Kalau yang borong siapa, saya nggak tahu. Tapi saya dengar proyek ini dari pusat, langsung ke sekolah,” ungkapnya polos.
Sementara itu, di sisi lain lokasi tampak beberapa pekerja tengah memasang rangka baja untuk atap bangunan. Salah satu pekerja, Habib, juga mengaku hanya sebagai buruh harian.
“Saya dibayar harian Rp100 ribu. Kami cuma ngerjain atap, rangka baja aja. Kepala tukangnya saya nggak tahu, katanya rumahnya di Penumangan Baru,” tutur Habib.
Kondisi ini jelas menimbulkan banyak kejanggalan. Proyek yang katanya bersumber dari pusat, tetapi pelaksana lapangannya bahkan tidak tahu siapa pihak pemborongnya. Ditambah lagi, gedung lama yang terbengkalai seakan menjadi bukti nyata ketidakefisienan pengelolaan pembangunan pendidikan.
Warga sekitar pun mulai bertanya-tanya, apakah pembangunan ini benar-benar untuk kebutuhan pendidikan, atau sekadar proyek rutin yang menguras anggaran tanpa manfaat nyata?
Pembangunan yang seharusnya menjadi simbol kemajuan justru tampak seperti proyek asal jadi—di tengah gedung lama yang tak terurus dan dana pendidikan yang seharusnya digunakan dengan bijak.
(Nurul)