Tubaba, lensahukumnews.com — Nasib tragis tengah dialami puluhan guru honorer bersertifikasi di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung. Hingga pertengahan Juli 2025, mereka belum menerima sepeser pun dari tunjangan sertifikasi yang seharusnya menjadi hak mereka — padahal dana sudah disiapkan pemerintah pusat melalui APBN. (16/7/2025)
Forum Perjuangan Honorer Persatuan Guru Republik Indonesia (FPH PGRI) mengecam keras sikap Pemkab Tubaba yang dianggap lalai dan abai dalam memperjuangkan hak para pendidik yang telah lolos sertifikasi.
“Kami sudah bersertifikasi. Tapi sampai hari ini, hak kami belum juga dicairkan. Teman-teman di kabupaten lain sudah terima. Kenapa hanya Tubaba yang mandek?” tegas perwakilan FPH PGRI dalam pernyataannya.
SK Penugasan Jadi Penghalang, Tapi Alasan Sudah Tak Relevan
Masalah utama mandeknya pencairan tunjangan, menurut hasil audiensi FPH PGRI dengan Kementerian Pendidikan di Jakarta pada 9 Juli 2025 lalu, adalah tidak adanya SK penugasan resmi dari Pemkab Tubaba. Ironisnya, Pemkab sudah berhenti menerbitkan SK bagi guru honorer sejak tahun 2009 dengan dalih klasik: keterbatasan anggaran.
Padahal, aturan terbaru menyebutkan bahwa SK dari kepala daerah tidak lagi menjadi syarat mutlak. SK penugasan cukup diterbitkan oleh Kabid GTK atau pejabat setingkat agar validasi data bisa dilakukan dan tunjangan cair.
Namun hingga kini, Dinas Pendidikan Tubaba tetap berdalih belum ada dasar penerbitan SK, padahal daerah lain sudah melakukan dan mencairkan dana.
Kabid GTK Lempar Solusi Kontroversial: Pindah Saja ke Swasta
Kepala Bidang GTK Dinas Pendidikan Tubaba, Sobri, S.Kom., M.M., secara terbuka mengakui belum ada pencairan tunjangan karena ketiadaan regulasi dan belum adanya anggaran honor dari APBD. Lebih jauh, ia menyarankan agar guru-guru honorer pindah saja ke sekolah swasta.
“Di sekolah swasta cukup dengan SK dari yayasan, tunjangan bisa langsung cair,” ujarnya.
“Kalau ada akses ke Bupati, silakan audiensi. Kalau disetujui, SK bisa terbit. Tapi saat ini belum ada dasar,” tambahnya tanpa memberi solusi konkret.
Pernyataan ini menuai kekecewaan mendalam dari para guru, yang menilai pemerintah daerah justru memperumit proses alih-alih mempermudah akses terhadap hak konstitusional mereka.
Dana Sudah Masuk, Tapi Tak Bisa Dicairkan
Lebih menyakitkan lagi, berdasarkan penelusuran FPH PGRI, dana sertifikasi tahun 2025 sejatinya sudah tersedia dan masuk dalam sistem. Dana tersebut bahkan sudah ditransfer ke rekening guru penerima sesuai data Info GTK.
Namun karena tidak ada validasi akibat ketiadaan SK penugasan, dana itu macet — masuk sistem tapi tak bisa dicairkan. Rekening para guru tetap kosong, meskipun nominal telah tercatat.
Kisah ini menelanjangi persoalan akut dalam birokrasi daerah: kaku, lamban, dan minim empati. Saat pemerintah pusat membuka jalan, justru pemerintah daerah yang menciptakan tembok penghala(Nurul)